Selasa, 07 Oktober 2008

Backpacking Baduy ( bagian 1 )

Sabtu, 16 Agustus kami semua sepakat untuk berkumpul juga di Stasiun Kereta Api Tanah Abang sesuai perjanjian jam 16:00. Romy Celesta beserta nyonya, Silvia Celesta juga mengajak Oom Donny, seorang musisi Ambon yang sudah lebih 30 tahun tinggal di Jakarta tapi belum sempat melaksanakan keinginannya ke Baduy karena bergagai alasan. Satu lagi sis Lita Summer yang saya hubungi ternyata juga dalam perjalanan ke StasiunTanah Abang dan dalam jebakan kemacetan hari Sabtu yang sungguh diluardugaan. Kok macet tidak seperti biasanya. Dengan cemas-cemas sambil menunggu Lita yang masih mencari-cari mini market sekitar Tanah Abang karena kehawatiran kesulitan mencari bekal cemilan setiba di Ranggkasbitung. Akhirnya Lita datang juga tanpa membawa roti dan cemilan karena waktu yang sudah mendesak. Sedangkan saya sendiri ditemani peserta gelap yaitu Joko Junior ( Adam S. Langen , 11 ) yang keukeuh ingin ikut lagi ke Baduy meskipun sudah diajak ke sana sebulan lalu saat liburan sekolah. Jadilah kampung Baduy sebagai kawah Candradimuka buat anak saya Adam untuk mengikuti perjalanan lebih berat dari sebelumnya. Genaplah kami 6 orangberangkat ke kota Rangkasbitung menggunakan KA Rangkas Jaya Ekonomi.

Kereta Ekonomi yang cukup Manusiawi
Tidak seperti anggapan orang, naik kereta apalagi kelas Ekonomi pasti jadwalnya molor. Entah karena beruntung atau memang kereta tersebut memang jadwal yang sudah terancana dengan baik dan tanpa gangguan jalur serta hambatan sistem wesel segala macam berangkatlah kami tepat pukul 17:00. Sayang, setelah membeli tiket kami tidak buru-buru menuju kereta api yang sudah parkir karena masih ada yang harus dibeli. Lagi-lagi cemilan yang dikhawatirkan Lita tiba di Rangkasbitung malam dan toko-toko sudah tutup. Akhirnya kami bisa masuk ke tengah gerbong tanpa mendapatkan tempat duduk. Beruntung Lita masih bisa menyempil duduk 50 persen nenpel di kursi,50 persen lagi ditopang kali karena memang tempat duduk sudah terisi maksimum. Tetap bersyukur masih dapat diskon duduk meski cuma separoh pantat.

Pengalaman naik kereta ekonomi dari tahun ke tahun, dari berbagai tujuan dipulau Jawa baru kali inilah bisa melihat kereta api yang cukup bersih, gerbong tanpa coretan tangan jahil, tidak bau pesing atau berserakan sampah. Bahkan dari pertama berangkat, sama sekali tidak ditemukan pedagang asongan dan pengamen sebagaimana biasanya sering kita jumpai di kereta api kelas Ekonomi. Sepanjang perjalanan sungguh menyenangkan karena ternyata teman seperjalanan yang tidak kita kenal mudah cair dalam canda ceria untuk menciptakan suasana yang tidak membosankan. Bahkan kami akhirnya saling berbagi tempat duduk secara bergiliran. Dari kebanyakan penumpang adalah kaum urban yang akan menghabiskan liburan 17 Agustus di kampung halaman dan hampir tidak kami jumpai backpacker seperti kami dikereta yang kami tumpangi. Kereta api meluncur mulus membelah senja dan hanya berhenti di stasiun besar seperti Kebayoran, Serpong, Parung, Tigaraksa dan berakhir di Stasiun Rangkasbitung yang yang antik dibangun bulan Juli tahun 1900 sebagai daya dukung kolonial Belanda masa kajayaan perkebunan Karet di kawasan Lebak, Pandeglang dan Serang. Melihat dari ukuran besar dan keindahannya stasiun kereta api yang dibangun, sungguh bisa dibayangkan begitu sibuknya stasiun itu dahulu untuk mengangkut hasil bumi daerah setempat ke Batavia pada abad 18 - 19 lalu.

Napak Tilas Pejuang Humanis
Terbayangkan kembali kisah Douwes Dekker ( Multatuli) yang menulis buku MAX HAVELAAR tahun 1860 sebagai novel memoir atas kisahnya sebagai Asisten Residen di Rangkasbitung - Lebak. Diawali di Rangkas sebagai ibukota kabupaten Lebak yang pada saat itu, kolonial Belanda mengawali penanaman karet dengan cara tanam paksa atau yang lebih dikenal kerja RODI. Bisa dibanyangkan bila dalam beberapa puluh tahun saja, Belanda mampu melengkapi jalur kereta api sepanjang Rangkas, Banten, Merak dari hasil perkebunan Karet, tambang Batubara di Bayah pesisir selatan Lebak dan tambang Emas Cikotok. Sungguh sebuah kota yang dengan gamblang membuka matahati Douwes Dekker atas ketidak adilan kolonial atas penjajahan Belanda yang menyengsarakan rakyat Lebak ditengah kemakmuran yang berlimpah saat itu. Karet adalah komoditi yang sangat mahal untuk mendukung laju industri di Eropa, Batubara meskipun tidak sebaik di Sawahlunto Sumatra tapi sangat mendukung transportasi kereta lokomotif seluruh Jawa dan Emas di Cikotok sebagai sumber devisa yang sangat menggiurkan. Kereta yang kami tumpangi tiba di Rangkasbitung bisa dibilang sangat tepat waktu sekitar pukul 19:50 atau hanya terlambat 10 menit dari jadwal yangterpampang ti stasiun Tanah Abang. Suasana stasiun Rangkasbitung sungguh ramai dan padat menyambut kedatangan kereta api dipemberhentian terakhir ini. Becak, Ojek dan anggkutan kota menyusuru jalanan yang sempit dipadati penjual makanan yang menggiurkan. Bahkan Romy begitu menghirup aroma sate kambing, langsung terangsang selera makannya. Lita bahkan lapar mata melihat jajanan yang digelar di lobby stasiun Rangkasbitung. Namun kami cegah untuk berbelanja makanan karena kita harus check in kepenginapan yang tidak jauh dari stasiun dan cukup ditempuh dengan jalan kaki.

Tamu yang berpasangan Harap Bawa Surat Nikah
Akhirnya ditemukanlah Penginapan Empang berlokasi sangat strategis di pusatkota Rangkasbitung. Setibanya dipenginapan, pengelola penginapan menanyakan persyaratan bagi Surat Nikah bagi kami yang ingin menginap berpasangan. "Waduh. Saya gak bawa surat nikah " kata Romy sambil melirik ke Silvia. Akhirnya terjadilah penyusunan kamar yang tidak seperti rencana awal. Lita sekamar denghan Silvia, sedangkan kami laki-laki berempat menggunakan dua kamar yang berbeda. Penginapan yang hanya memiliki 17 kamar ini sangat sederhana, berada dilokasi yang aman, dan cukup bersih. Bahkan kami yang mendapat kamar di lantai 2 merasa nyaman ngobrol di koridor karena dapat menikmati udara bebas dan langit terang bulan purnama. Sayang sekali,kasur yang kami tiduri kurang empuk dan kipas angin kamar kami kurang berpungsi dengan baik. Satu - dua nyamuk akhirnya sempat menghisap darah cadangan energi besok pagi mendaki di Baduy. Beruntung udara Rangkas saat itu cukup sejuk dan tenang. Kamar mandi di luar bukan masalah besar buat kami yang transit dan hanya membayar senilah tidak lebih mahal dari minum secangkir kopi di Starbuck.
Sate / Sop Rumah Makan Ramayana yang " Mak Nyus "
Meninjam istilah dedengkot wisata kuliner Bondan Winarno, sate / soto Rumah Makan Ramayana sangat dipuji teman-teman kami seperjalanan. Rasanya " MakNyus " celetuk Romy. Sangat tidak menyesal untuk kesekian-kalinya menyarankan rumah makan ini saat tiba makan di Rangkasbitung. Masalahnya,memang untuk sementara ini hanya rumah makan inilah yang representative untuk tamu yang berkunjung ke Rangkas. Selain ruangan bersih berkapasitas maksimum 50 orang, disanapun terdapat toilet cukup bersih dan tidak memalukan untuk sebuah kota kecil. Lokasi persis di pusat kota, Jl. Multatuli yang bila ditarik lurus akan menuju kantor bupati Lebak. Keberuntungan kami bertambah saat makan sate dan sop kambing. Rupanya pada malam menjelang 17 Agustus ada acara tahunan yang selalu dilakukan masyarakat danpemerintah kab. Lebak yaitu arak-arakan obor keliling kota sebagai ucapan syukur atas nikmat kemerdekaan dan terlepas dari penjajahan kejam termasuk di daerah Lebak yang pada saat masa kerja paksa rodi banyak sekali masyarakat yang meninggal karena kelaparan dan wabah penyakit. Perut sudah kenyang, arak-arakan obor sepanjang 3 kilometer sudah selasai, pesta kembang api sudah habis, namun mini makert Alfa mart dan Indo Mart tetap ramai dikunjungi hingga jam 22:00. Selamat malam kota Rangkas yangdamai - kami harus istirahat.

3 komentar:

MY HOLIDAYS mengatakan...

bikin lagi dong badui nya, pake bus aja, hehehehe

tessa mengatakan...

akhirnya nemu juga blognya om Joko. Mantap om tour Baduynya. kapan lagi diadain. Masukin aq di list-nya yah.

Anonim mengatakan...

bagus juga ceritanya pak joko,jelajah negeri sendiri...jadi ingin tau juga seperti apa ya..badui..